Posted by : Andika Jumat, 20 November 2015

Tak terasa setahun berlalu, sejak kepergianku ke Paris untuk melanjutkan studi S2 ku. Ahh..Seperti mimpi rasanya bisa terbang ke Sorbonne . Masih lekat dalam pikiran, ketika aku memajang tulisan “Bismillah..GOES TO PARIS” di sudut kamarku. Masih ingat saat-saat pendaftaran, dengan rasa ketidakyakinan ku langkahkan kakiku. Do’a buk’e yang menguatkanku saat itu. Materi memang sudah kupersiapkan dengan matang, tetapi...banyaknya pesaing membuat perasaanku kembali gundah. Pelukan buk’e serta sebuah pesan sederhana namun begitu dahsyatnyalah yang menjadi kekuatanku. “Nduk, apa-apa itu kudu bismillah dulu. Biar gusti Allah meridhai kamu”. Itulah pesan buk’e yang membuatku sampai ke kota ini. Aku rindu pada masakan buk’e.
Gudeg merupakan makanan kesukaanku. Meski di Jogja banyak sekali pedagang pinggiran yang menyajikannya tetapi masakan buk’e tetap number one buatku, buat bapak, Indah dan mas Budi. Mereka berdua adalah saudara kandungku. Mas Budi belum menikah, usianya 26 tahun. Wajahnya ganteng, hidungnya mancung. Bangga aku jadi adiknya. Banyak teman mas Budi terutama perempuan sering membelikanku coklat, jajan, baju, es krim, dan jam tangan. Sedangakan Indah adikku, duduk di bangku SMA kelas dua. Anaknya cuek. Lebih suka dandan. Mandinya...hmmmm . Lamanya minta ampuunnn. Sering jadi bahan omelan sekeluarga, bikin darah tinggi ngomong sama dia tuh...
Buk’e sering bandingin aku sama dia. Kalau aku lebih suka apa adanya, ndak terlalu suka pakai bedak. Seringkali mas Budi mengejekku karena itu. Huh sebel..
“Din! Ngapain kamu senyam-senyum disini? Di bawah menara ini lagi. Are you okay??”
“Eh..Mila..I’m Ok. Aku hanya teringat dengan keluargaku di Indonesia”
“ndak pulang?”
“ndak mil..kan beasiswa memperbolehkan pulang kalau sudah selesai study.”
“iya juga sich..ayog pulang. Keburu malem.”
Mila merupakan teman sekamarku. Dia berasal dari malaysia, namun fasih berbahasa Indonesia. Kata-kata yang sedang in di Indonesia dia ketahui.I Love Indonesia katany. Cewek yang aga tomboy ini begitu perhatian padaku. Meski kami belum terlalu lama kenal, kami sudah seperti saudara. Dia seperti kakakku. Kami selalu pergi bersama untuk melihat mode hijab.Tujuannya Paris Look, letaknya di Boulevard Haussman, tak jauh dari Galeri Lafayette. Bila naik metro turun saja di Stasiun Lafayette, ambil kiri stasiun. Aku yang selalu memilihkan warna untuknya.Tak mengherankan jika aku menjadi fashion desainer-nya..hehehe..
Hari ini begitu cerah, menara eiffel begitu jelas terlihat. Musim semi membuat bunga-bunga tampak bermekaran. Udara begitu segar. Warna-warni bunga menyilaukan mataku.
Ciittttttt....sepeda ku-rem dengan mendadak.
“S'il vous plaît, Mademoiselle” S'il vous plaît !!(Tolong saya nona! Tolong!!!)
“What happened Mr???”
Sebelumnya aku belum begitu fasih berbahasa Perancis, namun raut wajahnya menyiratkan kebingungan, dan ku putuskan untuk menolongnya. Bajunya compang-camping, wajahnya kotor, dan dia menangis. Banyak orang yang memandangku di seberang jalan. Lalu kuputuskan untuk ikut dengannya. Untunglah bapak ini faham sedikit dengan bahasa Inggris.
“My Doughter is sick now. I don’t have much money. She is my asset. S'il vous plaît, Mademoiselle!!!.” Bapak ini menangis di tanganku. Rumahnya sangat kumuh. Tinggal di jalan Chat qui Pêche,merupakan jalan yang paling sempit, yakni selebar antara 2,5 sampai 7 meter.
Kuputuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Kondisi anaknya sangat parah. Lemah, demam.
“Ok..I’ill help you sir. Let’s go to hospital. Now. We don’t have any time.”
Kami pun bergegas rumah sakit Pitie-Salpetriere. Dokter memeriksanya dan langsung di tempatkan di ruang Icu. Kuputuskan pulang, dan tidak mengikuti kuliah karena sudah berakhir waktu perkuliahan.
Sepanjang perjalanan, aku memikirkan tentang biaya itu. Yang ada hanya beberapa uang tabungan di celengan. Dan pasti tidak cukup. Tanpa berpikir panjang, segera ku mencari kerja. Dari mengantar susu di pagi hari, mengantar koran mengelilingi komplek serta menjadi office girl. Tugas perkuliahan begitu banyak serta berpacu dengan waktu untuk biaya, membuatku ekstra dalam bekerja.
Dan Alhamdulillah, dua minggu kemudian gadis itu sudah sehat. Dan diperbolehkan untuk pulang.
“Merci Mademoiselle” (Terimakasih kakak). Senyuman tergambar diwajahnya.
“Merci Mademoiselle”. Seru bapak itu
“Je vous en prie Monsieur” (terimakasih kembali bapak)
Dari kejauhan kulihat aura kebahagiaan yang dalam. Dan inilah makna kebahagiaan buatku. Disini,di kota ini, kutemukan makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Din..dinda..lihat ini..buruan!!”
“Eh..ada apa?”
“ Kamu Dinda..Dinda Az-Zahra, kamu di daulat jadi ketua Asosiasi Peduli Masyarakat Miskin. Lihat ini, kamu masuk 5 besar orang berpengaruh di Universitas Sorbonne. Selamat ya cinta.”
“ Ha???kamu yakin ini aku??? Kok bisa??? Darimana????ah ndak..kamu pasti bohong.”
“Lihat nie..Dinda Az-Zahra membantu orang tua beserta anaknya untuk ke rumah sakit. Dia biayai dengan hasil kerja kerasnya. Kamu dapet gaji setiap bulan dari posisi ini Din. Ada yang mata-mata i kamu Din, itu pasti jurnalis kampus. Waahh...keren...!!!”
Ya Allah..seketika ku sujud syukur. Air mata menetes deras. Ini memang keajaibanmu. Aku tidak menyangka.
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah , pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak......” (Q.S Al-Baqarah : 245)
Tanpa Dinda sadari, ada seorang lelaki yang memperhatikannya lama di seberang jalan.


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

- Copyright © Rienda Handayani -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -